Rabu, 31 Maret 2010

Sepucuk surat: muslim, mu’min, dan aku

Aku muslim karena bapak/ibuku muslim. Terlahir dari rahim seorang muslimah, maka Islam adalah agama ibu. Dan aku diadzani, diberi nama islami, dikhitan, dilunasi aqiqahnya. Betapa merupakan kewajiban orang tua muslim. Awalan mereka untuk menjaga keluarganya dari api neraka. Ya, aku di-Islam-kan.

Sejak kapan aku menjadi muslim? Mungkin syahadatein itu terucap ketika aku diajari rukun Islam. Secara tidak sengaja. Oleh ibuku atau oleh guru TK ku, aku lupa. Dan aku menjadi muslim secara tidak sengaja.

Sejak akil baligh, pena yang semula terangkat, kini tidak lagi pada tempatnya. Tercatatlah segala perkara hidupku. Menanggung dan menjawab atas nama sendiri. Sepertinya, aku menjadi muslim sejak selesai berwudhu. Ikrar dalam rangkaian kalimat do’a. Do’a yang telah ku hafalkan sebelumnya. Kemudian dipanjatkan di hadapanNya. Dia yang bukan hanya di timur atau barat. Dia yang selalu tahu aku di mana. Dan aku yakin Dia ada di mana saja.

Menurutku, menjadi muslim, maaf, kurang lebih hanya perkara teknis. Aku mengucap syahadatein, aku sholat, aku puasa, aku (di)bayar(kan) zakat, dan kelak aku berhaji, sungguh urusan teknis. Berangkat dari itikad sekadar gugur kewajiban, alih-alih memaknai hikmah di balik ritual suci itu, pun rasa-rasanya aku masih bisa disebut muslim. Dari buku/kitab fiqih-sunnah yang memuat kaifiyah ibadah-ibadah itu, aku berusaha memperhatikan adab dan syarat syah, menunaikan rukun, melaksanakan sunnah, menghindari yang makruh, dan berpaling dari yang membatalkan. Sempurnakah?

Namun begitu, aku muslim yang masih jauh dari kaffah. Padahal itu yang diserukanNya. Pun aku kabur memaknai istiqomah dan ikhlas. Inginku, menjadi muslim dengan tanpa alasan. Beribadah bukan karena ingin ini dan tak ingin itu. CMIIW. Tidak bisa aku membayangkan al-jannah dengan sungai yang mengalir di bawahnya, pun an-naar yang penjaganya hanya mendengar perintahNya untuk berhenti mengazab. Dan lagi, tidak bisa aku membayangkan malaikat pencatat amalanku. Seperti notulen rapat kah? Amalanku tercatat seperti pagar turus kah? Dan seperti apakah mizan itu? Nalarku terbatas. Allahu a’lam.

Lantas kapan kelak aku menjadi mu’min? Memang, menjadi mu’min adalah perkara lain. Perkara yang lebih berat dari sekadar menjadi muslim. Meyakini dalam hati, melafadzkan dengan lidah, dan mengamalkannya dengan raga. Enam butir rukun iman yang harus diyakini. Sekali lagi, diyakini. Bukan pemoles bibir, dan bukan kostum pembalut raga semata. Ketiganya harus selaras, kalau tidak ingin dilabel munafik. Iman, hanya Dia yang tahu standar dan kadarnya. Manusia tidak diperkenankan mengintervensi. Memangnya bisa? Karena sesungguhnya Dia mengetahui apa yang manusia tidak ketahui. Qolbu, Dia hanya melihat itu, bukan paras.

Maka sabar lah sayang. Aku sedang belajar. Harapku, sabar senantiasa mengiringi proses. Sabar, cahaya yang gilang-gemilang. Bersama sholat, sabar akan menolongku. Hanya dariNya aku mendapat petunjuk. Maka perkenankanlah.

Tidak ada komentar: