Minggu, 27 Juni 2010

Pesan untukku

Sadarilah bahwa,
1. tugasku di dunia ini adalah melakukan hal-hal baik, memberikan sebesar-besar manfaat untuk orang lain dan lingkungan hidup serta meminimalkan kerugian bagi orang lain dan lingkungan hidup.
2. Tuhan maha melihat, tidak pernah tidur, dan maha adil.
3. apa yang aku tanam sekarang, maka itu yang aku tuai kelak.
4. aku dinilai dan dipandang oleh orang lain dari bagaimana caraku memperlakukan dan memandang orang lain.

Maka,
aku harus terus berbuat baik. Hanya berbuat baik. Bila orang lain tidak memperlakukanku dengan baik, maka koreksi pertama adalah diriku sendiri. Namun bila perlakuan serupa masih ku terima, maka akan ku serahkan kepada Tuhan yang maha adil. Aku yakin setiap kita akan mendapat balasan dari setiap apa yang kita usahakan, baik atau buruk. Selalu, aku akan memperlakukan orang lain sebagaimana aku ingin diperlakukan. Mohon ingatkan aku.

Rabu, 31 Maret 2010

Sepucuk surat: muslim, mu’min, dan aku

Aku muslim karena bapak/ibuku muslim. Terlahir dari rahim seorang muslimah, maka Islam adalah agama ibu. Dan aku diadzani, diberi nama islami, dikhitan, dilunasi aqiqahnya. Betapa merupakan kewajiban orang tua muslim. Awalan mereka untuk menjaga keluarganya dari api neraka. Ya, aku di-Islam-kan.

Sejak kapan aku menjadi muslim? Mungkin syahadatein itu terucap ketika aku diajari rukun Islam. Secara tidak sengaja. Oleh ibuku atau oleh guru TK ku, aku lupa. Dan aku menjadi muslim secara tidak sengaja.

Sejak akil baligh, pena yang semula terangkat, kini tidak lagi pada tempatnya. Tercatatlah segala perkara hidupku. Menanggung dan menjawab atas nama sendiri. Sepertinya, aku menjadi muslim sejak selesai berwudhu. Ikrar dalam rangkaian kalimat do’a. Do’a yang telah ku hafalkan sebelumnya. Kemudian dipanjatkan di hadapanNya. Dia yang bukan hanya di timur atau barat. Dia yang selalu tahu aku di mana. Dan aku yakin Dia ada di mana saja.

Menurutku, menjadi muslim, maaf, kurang lebih hanya perkara teknis. Aku mengucap syahadatein, aku sholat, aku puasa, aku (di)bayar(kan) zakat, dan kelak aku berhaji, sungguh urusan teknis. Berangkat dari itikad sekadar gugur kewajiban, alih-alih memaknai hikmah di balik ritual suci itu, pun rasa-rasanya aku masih bisa disebut muslim. Dari buku/kitab fiqih-sunnah yang memuat kaifiyah ibadah-ibadah itu, aku berusaha memperhatikan adab dan syarat syah, menunaikan rukun, melaksanakan sunnah, menghindari yang makruh, dan berpaling dari yang membatalkan. Sempurnakah?

Namun begitu, aku muslim yang masih jauh dari kaffah. Padahal itu yang diserukanNya. Pun aku kabur memaknai istiqomah dan ikhlas. Inginku, menjadi muslim dengan tanpa alasan. Beribadah bukan karena ingin ini dan tak ingin itu. CMIIW. Tidak bisa aku membayangkan al-jannah dengan sungai yang mengalir di bawahnya, pun an-naar yang penjaganya hanya mendengar perintahNya untuk berhenti mengazab. Dan lagi, tidak bisa aku membayangkan malaikat pencatat amalanku. Seperti notulen rapat kah? Amalanku tercatat seperti pagar turus kah? Dan seperti apakah mizan itu? Nalarku terbatas. Allahu a’lam.

Lantas kapan kelak aku menjadi mu’min? Memang, menjadi mu’min adalah perkara lain. Perkara yang lebih berat dari sekadar menjadi muslim. Meyakini dalam hati, melafadzkan dengan lidah, dan mengamalkannya dengan raga. Enam butir rukun iman yang harus diyakini. Sekali lagi, diyakini. Bukan pemoles bibir, dan bukan kostum pembalut raga semata. Ketiganya harus selaras, kalau tidak ingin dilabel munafik. Iman, hanya Dia yang tahu standar dan kadarnya. Manusia tidak diperkenankan mengintervensi. Memangnya bisa? Karena sesungguhnya Dia mengetahui apa yang manusia tidak ketahui. Qolbu, Dia hanya melihat itu, bukan paras.

Maka sabar lah sayang. Aku sedang belajar. Harapku, sabar senantiasa mengiringi proses. Sabar, cahaya yang gilang-gemilang. Bersama sholat, sabar akan menolongku. Hanya dariNya aku mendapat petunjuk. Maka perkenankanlah.

Selasa, 15 Desember 2009

Refleksi

...
Berlari dengan dua kaki
Rasanya.. kurang lagi cepat
Maka berlari dengan empat kaki
Masih pula kurang cepat
Maka terbang lah..
Sejauh sayap-sayap ini kuat mengepak
...

Sabtu, 14 Maret 2009

Coreidae


Seekor Coreidae (Ordo Hemiptera) di ujung batang muda tanaman kacang panjang. Hama? Pastinya iya. Dia mengisap sap. Tengok lah alat mulutnya. Sebuah stilet yang menusuk jaringan, menembus jauh ke dalam floem. Jika tidak digunakan, stilet itu akan membujur di bagian ventral tubuhnya, sampai batas antara thorax dan abdomen. Tipe opistognatus.

foto: rachma

Selasa, 18 November 2008

Cerita tentang Ade


Ini hanya sebuah cerita pengalaman.

Ade (sebut saja demikian) adalah seorang murid privat saya. Anak cerdas. Kenyataan bahwa Ade lebih sulit berkonsentrasi dan tampak seperti kurang ’peduli’ terhadap pelajaran sekolah, membuat saya berfikir dari sisi psikologis. Bukannya sok tahu, tapi hanya mengutip. Saya teringat pada seorang dosen yang pernah mengatakan bahwa pada usia yang sama, laki-laki dan perempuan memiliki kematangan emosional atau perkembangan psikologis yang berbeda. Pada usia yang sama, perempuan akan terlihat lebih dewasa, dalam berfikir, kurang lebih 4 tahun di atas laki-laki. Hal itu yang mendukung spekulasi saya mengenai perbedaan cara Ade dalam melihat dan menyikapi sebuah prestasi belajar. Saya melihat Kakak perempuannya, yang hanya satu tahun selisih usianya, setahun lalu dan Ade saat ini. Akan tetapi, menurut saya yang satu tidak bisa dikatakan lebih baik dari yang lain ataupun sebaliknya. Mereka tidak bisa dibanding-bandingkan, karena mereka memang berbeda secara kodrati.

Oleh karena itu, berbeda pula cara saya bersikap kepada keduanya. Bersama Kakak saya tidak pernah harus memutar otak, memikirkan hal-hal kreatif untuk menarik perhatiannya pada buku dan soal-soal. Karena sebanyak apapun yang disodorkan, Kakak pasti melahapnya. Walaupun dia pernah (jarang sekali) kurang perhatian, tapi tidak sulit bagi saya untuk ’menariknya’ kembali. Bersama Ade, justru saya banyak belajar. Saya selalu berusaha mengenalinya. Sampailah saya pada kesimpulan-kesimpulan yang, bagi saya, dapat dipegang dan diterapkan pada setiap kesempatan mendampingi Ade.

1. Dua jam tidaklah cukup
Dua jam cukup bagi siswa SMP dan SMU, karena selama 2 jam itu mereka ’menghadirkan’ seluruh jiwa raganya untuk mendengarkan mentor. Sementara itu, sangat sulit bagi mentor untuk mempertahankan perhatian siswa SD penuh selama 2 jam. Ada banyak hal yang ingin mereka lakukan dan ceritakan di tengah waktu belajar. Akibatnya, kami ’hilang’ dari meja belajar untuk beberapa saat. Sehingga, 2 jam itu tidak cukup untuk mencapai target yang diinginkan. Yang saya inginkan tentunya.

2. Target besar diraih melalui target-target kecil
Sejujurnya saya tidak bisa menyegah semua keinginan Ade, di luar pelajaran, yang tercetus sepanjang waktu belajar. Hanya saja saya berusaha membatasi setiap keinginannya termasuk pula batasan waktu yang saya tetapkan dalam mengerjakan soal-soal. Soal-soal dalam buku selalu berjumlah puluhan. Bila saya langsung sodorkan, misalnya, 20 soal untuk dikerjakan selama 20 menit, sudah pasti banyak energi dan waktu saya yang terbuang untuk membujuknya. Jumlah soal yang menurut saya tidak seberapa banyak itu adalah beban besar baginya. Tetapi lain ceritanya ketika saya memintanya untuk mengerjakan 5 soal pertama dalam 5 menit. Dengan penuh semangat Ade pasti mengerjakannya. Dan sebenarnya, dia bisa menyelesaikannya dalam waktu kurang dari 5 menit. Menit berikutnya giliran saya memeriksa jawabannya. Sementara itu, biasanya Ade melakukan kesenangannya yang lain. Dia suka sekali menggambar atau mengeksplorasi mainan barunya, jadi saya biarkan itu berlangsung di sela-sela waktu seriusnya. Pengerjaan soal oleh Ade, pemeriksaan dan pemastian jawaban yang benar oleh saya, hanya memakan waktu kurang dari 5 menit. Target kecil pertama saya tercapai, selanjutnya adalah pencapaian target-target kecil berikutnya hingga semua soal selesai dikerjakannya. Target besar saya tercapai tanpa banyak energi dan waktu, Ade maupun saya, yang terbuang sia-sia.

3. Hadiah lumrah sebagai penghargaan
Menghargai setiap pekerjaannya. Bentuk apresiasi yang sangat lumrah: pujian, tepukan tangan, kelitikan. Tidak penting seberapa banyak penghargaan itu. Tetapi ketika hal itu disepakati, maka harus ditepati oleh kami berdua. Tidak jarang di awal juga terjadi tawar-menawar. Ketika Ade berhasil mengerjakan 5 soal dalam 2 menit, kontan saya memujinya,
”Wah! Ade hebat, cuma 2 menit loh De”
”Iya?!” Ade mengatakan dengan penuh heran.
Ekspresi yang saya tangkap itu membuat saya yakin bahwa dia telah terpicu untuk mengerjakan 5 soal berikutnya dan seterusnya. Kadang kala, di depan, saya berjanji untuk memberi hadiah bila kelima soal terjawab dengan benar.
”De, kalo bener semua nanti aku tepuk tangan 10 kali deh”
Pada mulanya dia setuju, tapi kali berikutnya, dia akan menaikkan standard.
”Aku mau 100 kali”, saatnya tawar-menawar,
”50 aja ya De”
Saya tidak pernah keberatan untuk melakukannya. Strategi ini pun saya gunakan untuk menarik perhatiannya, pada pelajaran, ketika dia sedang manja atau ngambek. Yang lucu adalah kalau dia meminta saya untuk mengelitikinya. Kalau yang satu ini memang tidak ada batas nominal yang jelas. Yang penting lunas. Dan nyatanya Ade tidak pernah menggugat.

4. Sabar yang tidak boleh habis
Untuknya segudang sabar. Saya harus pastikan bahwa persediaan itu tidak akan habis di sepanjang waktu saya bersamanya. Dan kesabaran itu akan terbayar dengan perhatian Ade pada pelajarannya dan juga peningkatan prestasi belajarnya.

Itu saja. Saya tetap harus mencoba mengenalinya di sepanjang pertambahan usianya.

Belajar untuk bisa belajar dari siapapun yang belajar.
foto: rachma

Senin, 17 November 2008

A road to cowpea (part 1)


Di jalan

Bosan jadi orang kota, jalan-jalan ah ke ladang kacang panjang di Bogor. Cari tahu tentang suka duka menjadi petani kacang panjang. Mungkin sepulang dari sana, saya jadi bisa refleksi tentang kehidupan.

Oops… tapi sesungguhnya ngga sedalam itu sih.
Lawatan tempo hari ke ladang kacang panjang sesungguhnya untuk memenuhi tugas praktikum pengendalian hama terpadu (disingkat PHT).

Hari itu kebetulan giliran saya untuk mewawancara petani. Pagi yang terik, sampai di stasiun Bogor (yang banyak cocopetnya itu loh), perjalanan berlanjut ke Terminal Laladon dengan angkutan kota (angkot aja) bernomor 03, berwarna ijo royo-royo, jurusan Baranangsiang-Bubulak (atau Laladon, biasa deh supir 03 ada yang lebih suka mengalir ke Laladon daripada ke Bubulak, terminal resminya). Sampai terminal, pastinya saya turun dong, daripada terbawa lagi ke stasiun Bogor. Ganti angkot berwarna biru tanpa nomor (nomor angkot maksudnya, bukan nomor polisi plat kuning yang selalu diawali F 19.. ..) jurusan Laladon-Cibeureum Petir. Setelah menikmati pemandangan hiruk-pikuk di pasar Cibeureum, juga hamparan sawah dan ladang, sampailah saya di satu desa bernama Alam Sari, sebelum Petir.

Membeli rokok

Semua orang setuju, termasuk dosen PHT saya, Prof. Aunu Rauf, kalau wawancara akan berjalan lancar di antara kepulan asap rokok. Atau sebagai ungkapan hatur nuhun, boleh lah sebungkus rokok dipersembahkan. Aduh! Semula saya berfikir hanya akan memberi kenang-kenangan misalnya mug cantik (meniru pengalaman saya sebagai responden di mal tempo hari). Bukan apa-apa, saya sangat tidak suka dengan rokok, asap rokok, perokok, apalagi memberi rokok ke orang lain. Semua orang tahu bahaya rokok (secara peringatannya ditulis di bungkusnya gitu loh). Tapi kenapa masih banyak yang mau ambil risiko ya, termasuk bapak dan adik saya. Aduh aduh saya ngga habis pikir.

Kembali ke petani. Mungkin saya harus berkompromi. Baiklah, kali itu saja saya memberi rokok kepada orang lain, yang berarti sama dengan saya harus tega menyelakai petani responden saya. Hiks, maaf ya Pa. Tapi memang demikian adanya. Wawancara saya berlangasung.

[bersambung]
foto: dok.IRD

Sabtu, 02 Agustus 2008

tempo-tempo

Kemarin dulu, seorang tetangga saya bertandang ke rumah. Pa Haji Ili, beliau biasa dipanggil. Bersama bapak dan ibu saya, beliau mengobrol. Saya, hanya seliweran keluar masuk rumah. Sambil lalu saya mendengar beliau mengucapkan frase 'tempo-tempo' di sela-sela kalimatnya. Bapak dan ibu saya tampaknya mengerti, karena obrolan terus berlanjut tanpa interupsi. Tapi saya, belum paham apa arti frase itu. Segan pula berinterupsi di tengah obrolan mereka. Disimpan saja dulu.

Setelah Pa Haji Ili pulang, barulah saya tahu makna frase itu dari orang tua saya. Tempo-tempo sama saja artinya dengan kadang-kadang. Sebuah frase yang dipakai orang betawi tempo dulu. Pikir-pikir, pantas saja saya belum tahu. Bapak dan ibu saya sudah lama tidak terdengar mengucapkan frase itu.
foto: lalat sehari (mayfly) di atas arloji
Tom Murray, 2004