Senin, 17 November 2008

A road to cowpea (part 1)


Di jalan

Bosan jadi orang kota, jalan-jalan ah ke ladang kacang panjang di Bogor. Cari tahu tentang suka duka menjadi petani kacang panjang. Mungkin sepulang dari sana, saya jadi bisa refleksi tentang kehidupan.

Oops… tapi sesungguhnya ngga sedalam itu sih.
Lawatan tempo hari ke ladang kacang panjang sesungguhnya untuk memenuhi tugas praktikum pengendalian hama terpadu (disingkat PHT).

Hari itu kebetulan giliran saya untuk mewawancara petani. Pagi yang terik, sampai di stasiun Bogor (yang banyak cocopetnya itu loh), perjalanan berlanjut ke Terminal Laladon dengan angkutan kota (angkot aja) bernomor 03, berwarna ijo royo-royo, jurusan Baranangsiang-Bubulak (atau Laladon, biasa deh supir 03 ada yang lebih suka mengalir ke Laladon daripada ke Bubulak, terminal resminya). Sampai terminal, pastinya saya turun dong, daripada terbawa lagi ke stasiun Bogor. Ganti angkot berwarna biru tanpa nomor (nomor angkot maksudnya, bukan nomor polisi plat kuning yang selalu diawali F 19.. ..) jurusan Laladon-Cibeureum Petir. Setelah menikmati pemandangan hiruk-pikuk di pasar Cibeureum, juga hamparan sawah dan ladang, sampailah saya di satu desa bernama Alam Sari, sebelum Petir.

Membeli rokok

Semua orang setuju, termasuk dosen PHT saya, Prof. Aunu Rauf, kalau wawancara akan berjalan lancar di antara kepulan asap rokok. Atau sebagai ungkapan hatur nuhun, boleh lah sebungkus rokok dipersembahkan. Aduh! Semula saya berfikir hanya akan memberi kenang-kenangan misalnya mug cantik (meniru pengalaman saya sebagai responden di mal tempo hari). Bukan apa-apa, saya sangat tidak suka dengan rokok, asap rokok, perokok, apalagi memberi rokok ke orang lain. Semua orang tahu bahaya rokok (secara peringatannya ditulis di bungkusnya gitu loh). Tapi kenapa masih banyak yang mau ambil risiko ya, termasuk bapak dan adik saya. Aduh aduh saya ngga habis pikir.

Kembali ke petani. Mungkin saya harus berkompromi. Baiklah, kali itu saja saya memberi rokok kepada orang lain, yang berarti sama dengan saya harus tega menyelakai petani responden saya. Hiks, maaf ya Pa. Tapi memang demikian adanya. Wawancara saya berlangasung.

[bersambung]
foto: dok.IRD

Tidak ada komentar: