Selasa, 18 November 2008

Cerita tentang Ade


Ini hanya sebuah cerita pengalaman.

Ade (sebut saja demikian) adalah seorang murid privat saya. Anak cerdas. Kenyataan bahwa Ade lebih sulit berkonsentrasi dan tampak seperti kurang ’peduli’ terhadap pelajaran sekolah, membuat saya berfikir dari sisi psikologis. Bukannya sok tahu, tapi hanya mengutip. Saya teringat pada seorang dosen yang pernah mengatakan bahwa pada usia yang sama, laki-laki dan perempuan memiliki kematangan emosional atau perkembangan psikologis yang berbeda. Pada usia yang sama, perempuan akan terlihat lebih dewasa, dalam berfikir, kurang lebih 4 tahun di atas laki-laki. Hal itu yang mendukung spekulasi saya mengenai perbedaan cara Ade dalam melihat dan menyikapi sebuah prestasi belajar. Saya melihat Kakak perempuannya, yang hanya satu tahun selisih usianya, setahun lalu dan Ade saat ini. Akan tetapi, menurut saya yang satu tidak bisa dikatakan lebih baik dari yang lain ataupun sebaliknya. Mereka tidak bisa dibanding-bandingkan, karena mereka memang berbeda secara kodrati.

Oleh karena itu, berbeda pula cara saya bersikap kepada keduanya. Bersama Kakak saya tidak pernah harus memutar otak, memikirkan hal-hal kreatif untuk menarik perhatiannya pada buku dan soal-soal. Karena sebanyak apapun yang disodorkan, Kakak pasti melahapnya. Walaupun dia pernah (jarang sekali) kurang perhatian, tapi tidak sulit bagi saya untuk ’menariknya’ kembali. Bersama Ade, justru saya banyak belajar. Saya selalu berusaha mengenalinya. Sampailah saya pada kesimpulan-kesimpulan yang, bagi saya, dapat dipegang dan diterapkan pada setiap kesempatan mendampingi Ade.

1. Dua jam tidaklah cukup
Dua jam cukup bagi siswa SMP dan SMU, karena selama 2 jam itu mereka ’menghadirkan’ seluruh jiwa raganya untuk mendengarkan mentor. Sementara itu, sangat sulit bagi mentor untuk mempertahankan perhatian siswa SD penuh selama 2 jam. Ada banyak hal yang ingin mereka lakukan dan ceritakan di tengah waktu belajar. Akibatnya, kami ’hilang’ dari meja belajar untuk beberapa saat. Sehingga, 2 jam itu tidak cukup untuk mencapai target yang diinginkan. Yang saya inginkan tentunya.

2. Target besar diraih melalui target-target kecil
Sejujurnya saya tidak bisa menyegah semua keinginan Ade, di luar pelajaran, yang tercetus sepanjang waktu belajar. Hanya saja saya berusaha membatasi setiap keinginannya termasuk pula batasan waktu yang saya tetapkan dalam mengerjakan soal-soal. Soal-soal dalam buku selalu berjumlah puluhan. Bila saya langsung sodorkan, misalnya, 20 soal untuk dikerjakan selama 20 menit, sudah pasti banyak energi dan waktu saya yang terbuang untuk membujuknya. Jumlah soal yang menurut saya tidak seberapa banyak itu adalah beban besar baginya. Tetapi lain ceritanya ketika saya memintanya untuk mengerjakan 5 soal pertama dalam 5 menit. Dengan penuh semangat Ade pasti mengerjakannya. Dan sebenarnya, dia bisa menyelesaikannya dalam waktu kurang dari 5 menit. Menit berikutnya giliran saya memeriksa jawabannya. Sementara itu, biasanya Ade melakukan kesenangannya yang lain. Dia suka sekali menggambar atau mengeksplorasi mainan barunya, jadi saya biarkan itu berlangsung di sela-sela waktu seriusnya. Pengerjaan soal oleh Ade, pemeriksaan dan pemastian jawaban yang benar oleh saya, hanya memakan waktu kurang dari 5 menit. Target kecil pertama saya tercapai, selanjutnya adalah pencapaian target-target kecil berikutnya hingga semua soal selesai dikerjakannya. Target besar saya tercapai tanpa banyak energi dan waktu, Ade maupun saya, yang terbuang sia-sia.

3. Hadiah lumrah sebagai penghargaan
Menghargai setiap pekerjaannya. Bentuk apresiasi yang sangat lumrah: pujian, tepukan tangan, kelitikan. Tidak penting seberapa banyak penghargaan itu. Tetapi ketika hal itu disepakati, maka harus ditepati oleh kami berdua. Tidak jarang di awal juga terjadi tawar-menawar. Ketika Ade berhasil mengerjakan 5 soal dalam 2 menit, kontan saya memujinya,
”Wah! Ade hebat, cuma 2 menit loh De”
”Iya?!” Ade mengatakan dengan penuh heran.
Ekspresi yang saya tangkap itu membuat saya yakin bahwa dia telah terpicu untuk mengerjakan 5 soal berikutnya dan seterusnya. Kadang kala, di depan, saya berjanji untuk memberi hadiah bila kelima soal terjawab dengan benar.
”De, kalo bener semua nanti aku tepuk tangan 10 kali deh”
Pada mulanya dia setuju, tapi kali berikutnya, dia akan menaikkan standard.
”Aku mau 100 kali”, saatnya tawar-menawar,
”50 aja ya De”
Saya tidak pernah keberatan untuk melakukannya. Strategi ini pun saya gunakan untuk menarik perhatiannya, pada pelajaran, ketika dia sedang manja atau ngambek. Yang lucu adalah kalau dia meminta saya untuk mengelitikinya. Kalau yang satu ini memang tidak ada batas nominal yang jelas. Yang penting lunas. Dan nyatanya Ade tidak pernah menggugat.

4. Sabar yang tidak boleh habis
Untuknya segudang sabar. Saya harus pastikan bahwa persediaan itu tidak akan habis di sepanjang waktu saya bersamanya. Dan kesabaran itu akan terbayar dengan perhatian Ade pada pelajarannya dan juga peningkatan prestasi belajarnya.

Itu saja. Saya tetap harus mencoba mengenalinya di sepanjang pertambahan usianya.

Belajar untuk bisa belajar dari siapapun yang belajar.
foto: rachma

1 komentar:

ika mengatakan...

bener banget, ma ap yang lo caritain tentang ade..
setiap anak memang berbeda, dan itu bukan berarti dia lebih rendah atau lebih tinggi dari yang lain, iya kan?!
setelah lebih dari setahun ge ga ngajar dia, trus kemaren sempet sekali ngajar dia, ternyata ngajar ade mang masih memerlukan tenaga 'ekstra', he..